Koling Menggaet Pecinta Kopi Di Pinggir Jalan

Bisnis kedai kopi saat itu memang sedang tumbuh bak cendawan. Tren pertumbuhan kedai-kedai kopi juga bisa dibaca dari angka konsumsi kopi dalam negeri. International Coffee Organization mencatat kenaikan konsumsi kopi—baik robusta maupun arabika—di Indonesia mulai terasa pada 2011.

Koling Yogyakarta

Namun,berbisnis kopi tak harus memiliki kedai dan juga butuh modal besar. Di Yogyakarta, ada bisnis wedang kopi Koling, singkatan dari ”kopi keliling”. Koling lumayan populer karena ada di pusat-pusat pelancong, seperti Malioboro, Tugu, dan alun-alun selatan Keraton.

Koling (kopi keliling) Yogyakarta

Dayu Pratama, Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, merintis kopi keliling (koling) di Yogyakarta pada 2013, sepulang dari kuliah lapangan di Candiroto, Temanggung, desa sentra kopi. Awalnya, laki-laki 25 tahun ini dongkol melihat petani kopi di desa Candiroto, Temanggung mulai berpaling dari kopi karena harga yang terus merosot.

”Kopi itu sebenarnya bisa jadi sumber penghasilan,” kata Dayu. Akhirnya Dayu menekuni bisnis kopi dengan tekad membalik anggapan petani kopi.

Dayu awalnya membuka bisnis kopi kecil-kecilan di kampus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Biji kopi dari petani Temanggung dibeli lebih tinggi 20 persen dari harga pasar. Modal awalnya cuma Rp 80 ribu. Saking cekaknya, Dayu memanfaatkan pintu bekas rumah kakeknya untuk membuat gerobak. Dari sinilah cikal-bakal Koling lahir.

Jangan dibayangkan Koling yang dihela Dayu ini seperti kedai kopi kebanyakan yang punya ruangan lapang dan sejuk dengan kursi empuk. Koling berbentuk gerobak kayu beroda tiga yang mangkal di pinggir jalan.

Tak usah pula membayangkan Koling seperti penjaja kopi kemasan yang berjualan dengan sepeda lengkap dengan termos air panas. Koling menyeduh kopi asli. Maka di gerobak Dayu itu ada sederet stoples berisi biji kopi dari Temanggung, Jawa Tengah, yang ditata sebagai etalase.

Di sudut lain gerobak, ada gula, teko, dan mesin penggiling kopi manual. Koling gampang dikenali karena, selain menjajakan kopi dengan gerobak, penjajanya mengenakan kain lurik dan kadang memakai caping.

Semula, Koling tak diminati karena Dayu hanya mangkal di kampus. Saban hari, kopinya cuma laku tiga gelas. Koling mulai laris ketika Dayu menggeser gerobaknya ke pusat keramaian. Di sini, ia bisa menjual 1.500 gelas dengan banderol Rp 10-15 ribu per gelas. Harganya lumayan karena Dayu menjual kopi spesialti—kopi arabika kualitas terbaik.

Dengan strategi itu, bisnisnya berkembang. Kini ia punya enam gerobak. ”Koling juga mulai merambah Semarang dan Magelang,” ujarnya.

sumber: majalah.tempo.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *